Picture
Oleh: Eka Nada Shofa Alkhajar

"Lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan" (Soe Hok Gie).

Letupan semangat dari seorang aktivis dan demonstran bernama Gie seakan menjadi sebuah nilai idealis yang senantiasa mengilhami Gerakan Mahasiswa (GM) untuk tetap bertahan ditengah benturan zaman yang terus bergulir. Siapa yang memungkiri peran dari GM dalam mewarnai sejarah perjalanan bangsa Indonesia? Tidak ada.

Tak dapat dipungkiri bahwa GM memiliki peranan yang tidak dapat dilupakan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Sejumlah fakta sejarah menggambarkan peran dan kekuatan GM dalam mendorong terjadinya gelombang perubahan. Tumbangnya Orde Lama (Soekarno) dan Orde Baru (Soeharto) adalah bukti dari keampuhan GM.

Namun, kini berbicara tentang GM sudah menjadi sebuah keyakinan bersama (common sense) yang berkembang di tengah masyarakat bahwa GM kini sudah melempem tak punya taji seperti dulu. Sialnya, hingga kini mahasiswa sekarang masih terus diajak untuk menyaksikan film dokumenter mengenai keheroikkan mahasiswa angkatan '98 yang berhasil menjatuhkan rezim orde baru kala itu. Mereka diajak dalam romantisme sejarah yang sudah-sudah sampai harus terbuai di dalamnya.

Memang di Indonesia katakanlah gerakan tahun 20-an, 40-an, 60-an 80-an, dan terakhir reformasi '98 sebagai contoh dari hiruk pikuk dari gerakan mahasiswa yang menggema hingga sekarang. Hanya saja yang perlu dipahami dan disadari bahwa hal tersebut adalah sejarah yang sudah berlalu. Sudah saatnya GM hari ini membuat lukisan sejarahnya sendiri.

Denny J.A. (1990) dalam buku Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an, mengungkapkan pertanyaan menggugah yaitu dimanakah GM harus mengambil posisi? Adakah kekuatan politik GM masih diperhitungkan?

Untuk menjawab pertanyaan di atas tentu saja tidak mudah. Harus dipahami terlebih dahulu, bagaimana konteks dan realitas dimana GM itu berada. Pertanyaan di atas tidak akan relevan dilontarkan pada negara yang memiliki sistem politik yang sudah terlembaga dengan baik. Sebagaimana di negara-negara maju dengan separation of power yang tegas dan ketat. Karena di sana kekuatan mahasiswa adalah non-faktor. Sebaliknya, pertanyaan tersebut menjadi sangat relevan bagi kondisi sosial politik di Indonesia, lebih-lebih untuk saat ini.

Untuk konteks sekarang yang diperlukan adalah meluruskan kembali rel pergerakan mahasiswa secara hati-hati dan peka terhadap konstelasi politik yang sedang dan akan terjadi. Jika kita tidak ingin terjebak dalam romantisme gerakan semu atau bahkan terus dikebiri oleh penguasa. Tak ayal bahwa rejuvenasi (peremajaan kembali) GM menjadi suatu kebutuhan mendesak di tengah kondisi GM yang saat ini boleh dibilang mengalami stagnasi dimana GM kini belum mampu menjawab tantangan zaman yang semakin cepat.

Untuk itu perlu dibangun kesadaran kolektif (collective counciousness) bersama bahwa perjuangan GM harus mampu memberikan kontribusi positif dalam upaya menjawab permasalahan di lingkungan sosialnya dan substansial umat. Dimana hal penting yang dapat dimulai dan dilakukan saat ini adalah bergerak memberdayakan masyarakat/ basis sipil (local empowering)semisal melalui pengembangan mitra basis dengan jalan menjadi pengorganisir komunitas (community development) dan advokasi kepentingan publik yang mana peran itu kini telah diambil oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang belum tentu memihak kepada masyarakat.

Diharapkan dengan adanya rejuvenasi GM maka dengan perlahan ditepislah anggapan bahwa perjuangan yang baik haruslah perjuangan yang heroik dan berdarah-darah, melainkan hal ini dapat dilakukan dengan cara menjadi perjuang sejati yangconcern menyelesaikan permasalahan rakyat di tingkat mikro. Bergabung bersama rakyat, tidak sekedar memobilisasinya, melainkan untuk mencerdaskannya.

Di era otonomi daerah yang ditandai dengan bergulirnya desentralisasi dan meluasnya partisipasi publik seharusnya menuntut GM untuk mengalihkan perhatian dari isu-isu Jakarta, menjadi isu-isu daerah. Hal ini bukan berarti isu nasional tidak penting, tetapi akan lebih manis dan bermakna untuk memecahkan masalah yang lebih dekat terlebih dahulu.

Selain itu, GM seperti HMI, KAMMI, IMM, PMII, GMNI, GP, PMKRI dan sebagainya diharapkan mampu menjadi kelompok penekan (presssure group) untuk mendorong terciptanya suasana yang ideal di tengah masyarakat. Kelompok penekan disini sebagaimana diungkapkan seorang pakar politik, Maurice Duverger, adalah "any group or organization which by persuasion, propaganda, or other means, regulary attempts to influence and shape the polices of goverment". Kelompok penekan tidak langsung mengambil bagian dalam memperoleh kekuasaan atau dalam melancarkan kekuasaan itu sendiri, mereka bertindak untuk mempengaruhi kekuasaan sementara mereka tidak terlibat didalamnya; mereka melancarkan "tekanan-tekanan" atas kekuasaan yang sedang berjalan (Duverger, 1984).

Jika GM tidak mampu memainkan peranan dan memberikan kontribusi bagi pemecahan persoalan umat maka tak salah jika ada pendapat yang mengatakan bahwa GM kini lebih senang, maaf, hanya "beronani intelektual" saja. Hal ini bukanlah sesuatu yang harus ditanggapi dengan emosional akan tetapi dengan lapang dada sebagai sebuah kritik konstruktif bagi siapapun yang mengaku bagian dari GM. Sehingga GM nantinya tidak hanya pandai berwacana namun minim dalam aplikasi dan gerak.

Kedepan perlu dipahami bahwa GM merupakan sebuah kontinuitas gerak. Aktivis boleh berganti, strategi dan taktik dapat saja berubah, varian penindasan dapat saja lebih cantik, tetapi spirit perjuangan tidak akan pernah pudar. GM akan selalu hadir dalam dunia yang masih dikotomik. Artinya, bila ada kelompok yang menindas, GM akan melakukan perjuangan akselerasi bagi kaum tertindas. Hal ini sudah menjadi tanggung jawab moral GM untuk senantiasa memihak pada kaum yang tertindas. Kini rejuvenasi gerakan menjadi keharusan bagi GM untuk tetap mewarnai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Sudah saatnya GM mulai berpikir untuk "berjuang dalam bentuk lain". Tidak melulu dalam gerakan "asal bersebrangan dengan penguasa" maupun "gerakan yang selalu berimplikasi politik". Mungkin refleksi yang tepat bagi GM di awal tahun 2009 yang baru saja bergulir ini adalah apabila GM tidak menjadi bagian dari pernyelesaian masalah maka bisa jadi GM adalah bagian dari masalah itu sendiri. Gerakan Mahasiswa, Ayo Bergerak!.

Ketua Umum HMI Cabang Surakarta
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi UNS Solo,
Penulis buku "Pahlawan2 yang Digugat"

http://hmi.or.id/berita/37/rejuvenasi-gerakan-mahasiwa-sebuah-kebutuhan-mendesak

 
Picture
Untuk kesekian kalinya kita menyaksikan sebagian dari masyarakat berdesak-desakan demi mendapatkan derma. Mereka rela mempertaruhkan keselamatannya demi rupiah atau bentuk materi lainnya yang terkadang jumlahnya sangat tak sebanding dengan resikonya. Di sisi lain, para pemberi derma (zakat) tetap bertahan untuk memilih memberikan zakatnya langsung kepada para mustahiq daripada memanfaatkan otoritas pemerintah atau lembaga-lembaga pengelola zakat lainnya. Apakah ini pertanda kepercayaan yg terdegradasi atas lembaga-lembaga resmi? Ataukah ia hanya manifestasi dari kehendak untuk ‘bersosialisasi'? 
Kepercayaan mempengaruhi tingkat keterlibatan/partisipasi. Semakin tinggi tingkat kepercayaan seseorang semakin tinggi pula tingkat partisipasinya. Begitupun sebaliknya, kepercayaan terhadap orang/institusi lain yang rendah akan membuat seseorang enggan untuk terlibat bersamanya/didalamnya. Hukum ini berlaku umum, termasuk untuk menjelaskan fenomena keengganan sebagian masyarakat untuk menyerahkan pengelolaan zakatnya kepada lembaga-lembaga resmi; baik pemerintah maupun swasta.
Jika merujuk pada pernyataan diatas maka fenomena penyaluran zakat secara langsung ini merepresentasikan tingkat kepercayaan yang rendah terhadap lembaga-lembaga pengelola zakat resmi. Rendahnya tingkat kepercayaan tersebut bisa jadi merupakan akumulasi dari apatisme yang terbangun dari banyak peristiwa, tidak hanya yang berkaitan langsung dengan pengelolaan zakat tetapi juga dengan pengelolaan pemerintahan secara umum. Perilaku negatif dari sebagian anggota legislatif, kasus-kasus korupsi para pejabat negara yang mengemuka dan disaksikan publik melalui media massa, dan kerja birokrasi yang lamban adalah beberapa diantara variabel yang mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat pemberi zakat tersebut. 
Penjelasan lain dari fenomena tersebut adalah adanya faktor internal, yakni variabel yang berasal dari diri pribadi si pemberi zakat. Pengaruh faktor internal ini mengabaikan pengaruh faktor eksternal yang lain seperti kredibilitas lembaga-lembaga resmi misalnya. Artinya, sekalipun lembaga-lembaga resmi yang ada memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi dalam hal pengelolaan zakat, ia tetap akan menyalurkan zakatnya secara langsung, tanpa melalui lembaga-lembaga resmi tersebut.
Sebut saja faktor internal tersebut sebagai kehendak untuk ‘bersosialisasi'. Istilah ini dimaknai sebagai pemanfaatan momentum penyaluran zakat sebagai sarana untuk lebih mendekatkan atau mengakrabkan diri dengan lingkungan sekitar. Terlepas dari perdebatan tentang motif yang melatarbelakanginya, tak ada yang salah dengan kehendak untuk ‘bersosialisasi' ini. Bahkan, disinyalir cara ini lebih pas karena diasumsikan si penerima zakat adalah orang-orang yang kenal dengan si pemberi. Setidaknya, jika diasumsikan si pemberi zakat sebagai orang-orang yang ‘mampu' maka tindakan menyalurkan zakat secara langsung tersebut dapat mengurangi kecemburuan sosial di lingkungan tempat ia tinggal.   
Tersedotnya perhatian dan kekhawatiran publik terhadap cara ini disebabkan oleh resiko yang melekat bersamanya. Terlebih, banyak dari para pemberi zakat secara langsung tersebut tidak memiliki persiapan yang cukup dalam hal teknis pelaksanaannya. Akibatnya, di masa lalu beberapa orang bahkan harus kehilangan nyawanya. 
Ada dua hal yang harus dilakukan agar pemberian zakat tidak berubah menjadi momentum perenggutan nyawa tahunan. Pertama, lembaga-lembaga pengelola zakat resmi baik yang dimiliki pemerintah maupun swasta harus mampu menunjukkan dan meyakinkan para pemberi zakat bahwa lembaga mereka memiliki kredibilitas yang tinggi. Untuk itu, tidak cukup dengan iklan tetapi juga harus dengan kerja-kerja nyata. Jika diperlukan, bisa dilakukan standarisasi kinerja bagi lembaga-lembaga semacam itu. 
Kedua, jika toh masih ada yang lebih memilih menyalurkan zakatnya secara langsung, perlu ditetapkan sebuah prosedur pelaksanaan standar untuk menjamin ketertiban dan keamanan implementasinya. Di dalamnya bisa dimasukkan klausul keharusan untuk melibatkan pihak keamanan dalam jumlah tertentu misalnya, juga keharusan untuk membagi waktu pelaksanaannya kedalam beberapa sesi sesuai dengan nomor kuponnya, dan lain sebagainya.
Akhirnya, kita semua berharap agar niat baik tidak berubah menjadi malapetaka hanya karena tindakan yang ceroboh dan tidak memperhitungkan rasa kemanusiaan. 
 
Penulis Arif Budiman ; Ketua PB HMI dan Alumnus Ponpes Darussalam, Ciamis, Jawa Barat

http://hmi.or.id/berita/65/zakat-kepercayaan-dan-profesionalitas